Wednesday, June 17, 2009

007 - Menjawab Syubhat Tawassul

Syubhat dalam masalah Tawassul -hadits Utsman Bin Hunaif

Oleh: al-Ustadz Abu Salma al-Atsary

Telah datang berbagai syubhat dari segenap penjuru yang mana syubhat ini datangnya dari aktivis bid’ah yang sangat mencintai bid’ah dan memusuhi sunnah dan ahlinya. Mereka cuba membawakan dalil untuk membenarkan aktiviti mereka dengan membungkusnya sebaik mungkin lalu menjadilah ia satu produk ‘Sunnah’. Dengan berpandukan kepada satu hadits ini dan memasukkan syubhat/pemahaman batil di dalamnya, maka mereka membenarkan tawassul kepada orang yang telah mati. Dimulai dari dzat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sehinggalah kepada orang-orang yang ‘shalih’ atau ‘wali’ di antara mereka.

Berikut ini merupakan kupasan dari al-Ustadz Abu Salma berkaitan masalah tawassul di dalam hadits Utsman Bin Hunaif. Moga bermanfaat artikel ini kepada seluruh kaum muslimin dan semoga Allah memudahkan langkah kita bersama-sama untuk menelusuri jalannya Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam seluruh masalah ad-Dien terutama dalam masalah Tawaasul.

Baiklah, sekarang mari kita mengupas ĥadîts ’Utsman bin Ĥunaif ini.

عن عثمان بن حينف : « أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ادع الله أن يعافيني . قال : ” إن شئت دعوت لك وإن شئت صبرت فهو خير لك فقال : ادعه . فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه فيصلي ركعتين ويدعو بهذا الدعاء : ” اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة ، يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتقضى لي ، اللهم فشفعه في وشفعني فيه ، قال : ففعل الرجل فبرأ »

Dari ’Utsmân bin Ĥunaif : Bahwasanya seorang lelaki yang matanya buta mendatangi Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam seraya berkata : ”Berdoalah kepada Allah agar Ia menyembuhkanku.” Nabi menjawab : ”Jika kamu mau aku akan mendoakanmu, dan jika kamu mau untuk bersabar maka hal ini lebih baik.” Lalu orang buta itu berkata : ”berdoalah”. Lantas Nabi memerintahkannya untuk berwudhu’ dengan sebaik-baiknya lalu sholatlah dua roka’at kemudian berdoalah dengan doa ini : ’Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muĥammad, Nabi yang penuh raĥmat. Wahai Muĥammad, sesungguhnya saya menghadap dengan engkau kepada Rabbku untuk memenuhi hajatku ini, maka penuhilah untukku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah syafa’atku untuknya.” Dia (’Utsman bin Ĥunaif) berkata : ”Lelaki buta itu mengamalkannya lalu ia pun sembuh.” [Lafazh Ibnu Mâjah].

Di dalam riwayat al-Ĥâkim, lafazhnya adalah sebagai berikut :

أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله ، علمني دعاء أدعو به يرد الله علي بصري ، فقال له : « قل اللهم إني أسألك ، وأتوجه إليك بنبيك نبي الرحمة ، يا محمد إني قد توجهت بك إلى ربي ، اللهم شفعه في ، وشفعني في نفسي » ، فدعا بهذا الدعاء فقام وقد أبصر تابعه

Bahwasanya seorang lelaki buta mendatangi Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam seraya berkata : ”Wahai Rasūlullâh, ajarkanlah aku sebuah doa yang mana aku berdoa dengannya Allah berkenan mengembalikan pengelihatanku. Nabi lantas bersabda padanya : ”Katakan, Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabîmu, seorang nabi yang penuh rahmat. Wahai Muĥammad sesungguhnya aku menghadap denganmu ke hadapan Rabbku. Ya Allah terimalah terimalah syafaatnya untukku dan terimalah syafaatku untuk diriku.”

Serupa dengan lafazh di atas yang diriwayatkan oleh Imâm Aĥmad, an-Nasâ`î, dan selainnya.

Menurut Ahlus Sunnah, ĥadîts di atas tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kehormatan/kemuliaan Nabi, baik di masa hidup maupun wafat beliau. Demikian pula ĥadîts di atas tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kehormatan/kemuliaan selain beliau. Ĥadîts ini hanya menunjukkan kebolehan bertawassul dengan do’a dan syafa’at Nabî di masa hidup beliau saja.

Ĥadîts di atas menunjukkan tawassulnya orang buta tersebut adalah dengan do’a Nabî, bukan dengan kehormatan/kemuliaan Nabi apalagi dzât beliau Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Berikut ini adalah perbahasannya :

  1. Orang buta itu datang kepada Nabi supaya didoakan kesembuhan, sebagaimana nampak jelas dalam ucapannya : ”Berdoalah kepada Allah agar Ia menyembuhkanku.” Jadi, maksud orang buta ini datang kepada Nabî adalah minta agar didoakan beliau, bukannya bertawassul dengan dzât atau kemuliaan beliau. Dia bertawassul dengan doa Nabî, dan hal ini adalah termasuk tawassul yang diperbolehkan.
  2. Nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam memberikan pilihan kepadanya, apabila ia mau sabar maka hal ini lebih baik, dan apabila ia tetap mau didoakan, maka Nabi berjanji akan mendoakannya dan mengajarinya doa. Jadi, kembalinya adalah bertawassul dengan do’a Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa bersabar adalah lebih utama.
  3. Ketetapan pilihan orang buta tersebut supaya didoakan kesembuhan dari penyakitnya. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa orang ini datang untuk minta didoakan kesembuhan. Rasūlullâh pun memenuhi janjinya untuk mendoakan orang tersebut dan mengajarkan do’a kepada orang buta tersebut.
  4. Orang buta tersebut bertawassul dengan ’amal shâlihnya, yaitu tawassul dengan amal ketaatannya di dalam menerima perintah Nabî untuk sholât dua rakaat dan dengan amal ibadah sholat dua rakaatnya itu sendiri. Telah jelas sebelumnya bahwa tawassul dengan amal shâliĥ kita sendiri adalah dibolehkan.
  5. Adanya lafazh doa yang diajarkan Nabî, ”Ya Allah terimalah syafaatnya untukku”, menunjukkan akan batilnya pemahaman tawassul dengan dzât Nabî, karena sangat mustahil kalimat ini dibawa kepada pemahaman tawassul dengan kehormatan ataupun dzât Nabî. Maknanya yang benar dari ”Ya Allah terimalah syafaatnya untukku” adalah ”Ya Allah, terimalah dan kabulkanlah doanya untukku agar pengelihatanku kembali.” Karena syafa’at itu maknanya adalah doa.
  6. Lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya” menunjukkan lebih jelas lagi akan ketidakmungkinan ĥadîts di atas difahami bertawassul dengan dzât atau kehormatan Nabî. Sekiranya difahami bahwa ucapan doa si lelaki buta tadi adalah tawassul dengan dzât Nabî, lantas bagaimana kita menempatkan lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya”, apakah Nabî bertawassul pula dengan dzât atau kehormatan si buta? Padahal maknanya yang benar adalah ”dan terimalah syafatku/doaku agar engkau menerima doa/syafaat beliau (Nabî).
  7. Dalam kalimat ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabîmu”, ada suatu kata yang maĥdzūf (tersembunyi) pada kalimat itu, dan taqdir (perkiraannya) adalah ”doa” [yang maknanya adalah : ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan doa Nabî-Mu”], bukannya ”kehormatan” ataupun ”dzât” [yang maknanya adalah ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan dzât atau kehormatan Nabî-Mu”]. Karena apabila ditaqdirkan dengan ”dzât” atau ”jâh” (kedudukan/kemuliaan), lantas untuk apa orang buta itu susah-susah mendatangi Nabî, padahal ia bisa berdoa di rumahnya seraya mengatakan : ”Ya Allah, dengan kehormatan Nabi-Mu, aku memohon agar Engkau menyembuhkan mataku”…
  8. Ĥadîts ini disebutkan oleh para ’Ulamâ` di dalam masalah mukjizat-mukjizat Nabî, doa-doa Nabî yang mustajâbah dan keberkahan doa beliau. Imâm Baihaqî memasukkan ĥadîts ini ke dalam bâb Dalâ`ilun Nubūwah. Hal ini menunjukkan kesembuhan orang buta tersebut berkat doa Nabî yang maqbūl. Sekiranya hanya berkat doa orang buta itu semata, niscaya setiap orang buta yang berdoa dengan doa ini dengan ikhlash pasti akan mendapatkan kesembuhan, padahal realitinya tidak demikian. Demikian pula, sekiranya kesembuhannya disebabkan tawassulnya dengan dzât Nabî, niscaya orang-orang buta lainnya yang bertawassul dengan dzât Nabî pastilah sembuh padahal realitinya juga tidak demikian.

Beberapa Syubhât dan Jawabannya

Syubhat Pertama :

Apabila mereka berkata : Di dalam riwayat-riwayat yang mu’tabar, tidak disebutkan lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya”, yang ada hanya sampai lafazh ”terimalah syafaatnya untukku”. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan bahwa makna tawassul dalam ĥadîts ini adalah tawassul dengan dzât atau jâh Nabî.

Jawab : Dakwaan tersebut tidak benar. Karena lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya” adalah lafazh yang mu’tabar dan dikenal di dalam kitab-kitab ĥadîts. Lafazh ini ada di dalam riwayat A­ĥmad dan al-Ĥâkim, dishaĥîĥkan oleh al-Ĥâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabî.

Banyak penulis masa kini tidak menyebutkan lafazh terakhir ini dikarenakan apabila mereka menukilkannya, niscaya penakwilan mereka terhadap ĥadîts ini kepada tawassul dengan dzât tidak akan dapat dilakukan. Untuk itulah, mereka seringkali memotong dan meniadakan lafazh ini. Hal ini menunjukkan ketidakamanatan mereka.

Syubhat Kedua :

Apabila mereka berkata : Di dalam riwayat lain, dari Hammâd bin Salamah yang dikeluarkan oleh Abū Khaitsamah dalam Târikh-nya, ada tambahan riwayat :

وإن كانت لك حاجة فعل مثل ذلك

Apabila kamu memiliki hajat lainnya maka lakukan seperti ini.”

Bukankah hal ini menunjukkan bahwa doa ini boleh dilakukan untuk hajat yang lain, bila-bila masa saja dan di mana saja selama memiliki hajat? Ini artinya, klaim yang menyatakan bahwa tawassul di sini bermakna tawassul dengan meminta doa Nabî adalah tidak tepat. Karena, apabila dimaksudkan bertawassul dengan meminta doa Nabî, mengharuskan dia mendatangi Nabî. Namun, ĥ­adîts ini menunjukkan bahwa, orang buta tersebut cukup sekali saja menemui Nabî, lalu setelah itu ia boleh melakukannya (berdoa) di mana saja dan bila-bila masa saja yang dia mau, padahal telah jelas di dalam lafazh doa tersebut adalah lafazh ’Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muĥammad, Nabi yang penuh raĥmat’, sehingga lafazh ”dengan Nabi-Mu Muĥammad”, tentu saja akan bermakna dengan ”kehormatan”, ”jâh” atau ”dzât” Nabi.

Jawab : Syaikhul Islâm Ibnu Taimîyah raĥimahullâh di dalam al-Qâ’idah al-Jalîlah (hal. 102) menerangkan status infirâd (kesendirian) riwayat Hammâd bin Salamah di dalam meriwayatkan riwayat tambahan ini. Riwayat ini juga bertentangan dengan riwayat Syu’bah, yang lebih atsbat dan tsiqoh dibandingkan Hammâd.

Di dalam kaidah ĥadîts yang mu’tabar, seperti dijelaskan oleh al-Ĥâfizh dalam Nukhbatul Fikr, bahwa riwayat tambahan itu diterima selama tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqât. Riwayat yang demikian ini dikategorikan riwayat yang syâdz (ganjil). Al-Muĥaddits al-Ashr, Muĥammad Nâshiruddîn al-Albânî ra­ĥimahullah juga telah menjelaskan kelemahan tambahan riwayat ini secara panjang lebar dalam at-Tawassul Anwâ’uhu wa Aĥkâmuhu.

Baiklah, kalaupun tambahan hadîts di atas adalah shaĥîĥ dan diterima. Namun hal ini juga bukan artinya riwayat di atas dapat diarahkan kepada pengertian tawassul dengan dzât atau jâh Rasūlullâh. Karena sabda Nabî “Apabila kamu memiliki hajat lainnya maka lakukan seperti ini, maksudnya adalah mendatangi Rasūlullâh di kala beliau hidup, meminta agar beliau sudi mendoakan, sholat dua rakaat kemudian berdoa sebagaimana yang diajarkan Rasūlullâh.

Syubhat Ketiga :

Apabila mereka mengatakan : ”Sesungguhnya ’Izzuddîn bin ’Abdis Salâm ketika mengisyaratkan ĥadîts ini, beliau berkata : ”Lâ yajūzu at-Tawassul ilAllahi Ta’âlâ illa bin Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam in sho­­ĥĥal ĥadîts” [Tidak boleh bertawassul kepada Allah kecuali bertawassul dengan Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam saja apabila ĥadîtsnya memang shaĥîĥ], sedangkan telah jelas bahwa ĥadîtsnya shaĥîĥ. Oleh karena itu, boleh bertawassul dengan (dzat) Nabî.

Jawab : Merujuk ke pernyataan al-Imâm ’Izzuddîn bin ’Abdis Salâm di atas, tidak ada dilâlah (penunjukan) yang pasti dari ucapan beliau bahwa yang beliau maksudkan adalah tawassul dengan dzât Nabî, dan tidak pula ada penjelasan pembolehan beliau dilakukan setelah Rasūlullâh wafat, karena isyarat beliau dalam ucapannya adalah ĥadîts ’Utsmân bin Ĥunaif, padahal telah jelas bahwa riwayat tersebut menjelaskan kisah orang buta yang bertawassul dengan doa Nabî di masa beliau hidup.

Al-Imâm asy-Syaukânî di dalam ad-Durorun Nadhîyah fî Khulâshoti Kalimatit Tauĥîd (termaktub dalam al-Majmū’ul Mufîd min ’Aqîdatit Tau­ĥîd, karya Syaikh ’Alî bin Mu­ĥammad bin Sinân, Dârul Kitâb al-Islâmî, Madînah, cet. V, 1412, hal. 14), setelah memaparkan pendapat al-’Izz bin ’Abdis Salâm dan ĥadîts ’Utsmân bin Ĥunaif, beliau berkata :

Manusia di dalam menjelaskan maksud ĥadîts ini ada dua pendapat. Pertama : bahwasanya tawassul itu sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin al-Khaththâb radhiyallâhu ‘anhu ketika beliau berkata : “Ketika di musim kemarau, kami dahulu bertawassul kepada Nabi-Mu kemudian Engkau turunkan hujan kepada kami, adapun sekarang kami bertawassul dengan bapa saudara Nabi kami.” Hadîts ini terdapat dalam Shaĥîĥ a-Bukhârî dan selainnya. Di ĥadîts ini, ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu menceritakan bahwa mereka (para sahabat) bertawassul dengan (doa) Nabî di saat hidup beliau untuk meminta hujan, kemudian mereka bertawassul dengan bapa saudara Nabi setelah Nabî wafat untuk berdoa meminta hujan, kemudian beliau (‘Abbâs) berdoa disertai para sahabat lainnya yang juga turut berdoa bersama beliau, maka beliau menjadi wasilah bagi mereka kepada Allah Ta’âlâ. Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dulunya adalah seperti ini juga, yaitu sebagai pemberi syafaat dan doa.

Pendapat kedua menyatakan bahwa tawassul boleh dilakukan pada saat beliau hidup dan wafat, di saat beliau hadir maupun tidak hadir. Padahal tidaklah tersamar bagi anda bahwasanya telah tetap ijma’ sahabat bahwa tawassul dengan Nabî hanyalah di saat hidup beliau kemudian mereka bertawassul dengan selain beliau setelah beliau wafat, hal ini merupakan ijma’ sukutî, kerana tidak ada sedikitpun pengingkaran sahabat terhadap ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu ketika beliau bertawassul dengan ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu. Menurutku (Imâm Syaukânî), tidak ada sisi pendalilan yang mengkhususkan kebolehan tawassul hanya kepada Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam saja, sebagaimana dikira oleh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salâm, dengan dua sebab : (pertama) dari ijma’ sahabat yang telah kita ketahui… dst [Perincian lebih jauh silakan baca ad-Durorun Nadhîyah karya Imâm asy-Syaukânî].

Dari ucapan Imâm asy-Syaukânî ini, jelas bahwa yang dimaksud oleh al-‘Izz adalah bertawassul dengan Nabî hanya di saat beliau hidup saja. Dan itupun yang dimaksud adalah dengan doa Nabî, bukanlah dengan dzât atau kehormatan Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Allahu a’lâm.

Syubhat Keempat :

Apabila mereka mengatakan : Orang yang mengingkari bolehnya bertawassul dengan kemuliaan dan kehormatan Nabî, berarti telah mengingkari kemuliaan dan kehormatan Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana dikatakan oleh DR. Al-Būthî di dalam Fiqhus Sîrah, “sungguh telah sesat orang yang hati mereka tidak merasakan kecintaan terhadap Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan mengingkari tawassul dengan dzâtnya sepeninggal beliau.

Jawaban : Ini adalah tuduhan kosong lagi dusta, yang dikemukakan tanpa hujjah dan dalîl, hanya diiringi semangat permusuhan dan kedengkian. Hujjah seperti ini terlontar ketika mereka sudah tidak mampu membantah hujjah ahlus sunnah, sehingga tuduhan-tuduhan dusta pun keluar. Mereka mengatakan bahwa kita tidak mencintai Rasūlullâh hanya karena kita menjelaskan bahwa shalawat yang tidak dituntunkan Nabî adalah bid’ah, maulid Nabî adalah bid’ah, dan segala amalan palsu yang disandarkan kepada Nabî namun pada hakikatnya adalah bid’ah kemudian kita dikatakan bid’ah, mereka tidak terima. Dan kerana mereka tidak punya hujjah, maka tuduhan seperti inilah yang keluar.

Adapun kami, alĥamdulillâh, adalah kaum yang paling mencintai Nabî. Kami berupaya menghidupkan sunnah beliau dan menumpas bid’ah dan syirik di dalam agama. Kami senantiasa membela beliau, menghidupkan sunnah beliau, dan berjalan di atas jalan beliau walau terasa berat dan terasingkan. Apabila kami mengatakan bahwa tawassul dengan dzât Nabî adalah bid’ah, maka bukan artinya kami tidak menghormati dan mencintai Nabî. Bahkan kami sangat mencintai dan menghormati beliau.

Kami mengakui keutamaan dan kemuliaan beliau dibandingkan manusia lainnya, bahkan dibandingkan nabi dan rasul lainnya. Kami meyakini beliau memiliki Syafâ’at al-Uzhmâ, beliau adalah Nabî yang paling utama dibandingkan Nabî dan Rasul lainnya. Kami meyakini bahwa beliau pemilik ĥaudh (telaga) yang airnya mengalir jernih, barangsiapa meminumnya niscaya tidak akan merasa haus selamanya. Kami meyakini, siapa saja yang menghujat beliau sedikit saja, maka telah kâfir keluar dari Islâm, termasuk pula siapa saja yang melecehkan sunnah beliau walaupun hanya satu buah sunnah.

Ketidakcintaan kepada Rasūlullâh adalah salah satu bentuk kekufuran. Tuduhan DR. Al-Buthî yang menyatakan bahwa orang yang menolak tawassul dengan dzât atau jâh Rasūlullâh sebagai sesat tidak mencintai Rasūlullâh, merupakan suatu tuduhan besar. Implikasi dari tidak mencintai Rasūlullâh adalah kekafiran. Apakah DR. Al-Buthî bermaksud menvonis kâfir? Apakah DR. Al-Būthî tidak sedar, bahwa tuduhannya juga menimpa kepada para Imâm Ahlus Sunnah, semisal Imâm Muĥammad ‘Alî asy-Syaukânî?!

Kemudian, bagaimana bisa al-Būthî menvonis hati orang lain? Ia mengatakan “sungguh telah sesat orang yang hati mereka tidak merasakan kecintaan…”, bagaimana bisa ia menvonis isi hati orang lain padahal hanya Allah-lah yang bisa mengetahui apa yang ada dan terbetik di dalam hati seorang hamba. Apakah al-Būthî telah mengklaim memiliki perbendaharaan ilmu ghaib?!

Sungguh, apa yang dilontarkan oleh al-Būthî ini, hanyalah tuduhan kosong yang berangkat dari keputusasaannya…

Syubhat Kelima :

Apabila mereka mengatakan : Ya Akhî, ini kan masalah yang mukhtalaf fîhi (diperselisihkan), tidak selayaknya kita saling mengingkari dalam masalah ini. Biarlah yang meyakini tawassul dengan dzât Nabî itu disyariatkan, mereka mengamalkannya, selama mereka berangkat dari hujjah dan dalil mereka, dan tidak sepatutnya anda mempermasalahkannya apalagi mengingkarinya.

Jawab : Jika begitu, tentu kita tidak boleh pula mengingkari mereka yang berdalil dengan firman Allah :

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS al-Ĥijr : 99)

Untuk menyatakan bahwa seorang muslim yang telah sampai kepada maqâm al-Yaqîn di dalam keimanan, maka tidak wajib lagi beribadah kepada Allah.

Bukankah mereka berdalil dengan al-Qur‘ân? Dan bukankah penafsiran mereka ini sesuai dengan zhâhir? Dan bukankah pula, masalah ini adalah masalah yang mukhtalaf fîhi, yaitu yang diperselisihkan ahlus sunnah dan mereka (baca : ahli tashawwuf ekstrem)?

Namun tentu saja pemahaman mereka ini adalah menyimpang dan sesat, dan wajib diingkari. Kita wajib menegakkan hujjah kepada mereka dan menyampaikan hujjah yang paling haq. Namun, ironinya, ketika mereka sudah tidak punya hujjah lagi akan mengatakan, “ya akhî, ini masalah yang diperselisihkan, selama ada dalilnya anda tidak boleh mengingkarinya…”

Aduhai, akan rosak agama ini dengan hujjah semisal ini. Dan sungguh, hujjah (baca : apologi) seperti ini, hanyalah berangkat dari kejahilan dan keputus asaan akibat tidak adanya dalil yang dapat menyokong pemahaman mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata :

Pendapat mereka bahwa di dalam masalah khilâf tidak ada pengingkaran adalah tidak benar, karena pengingkaran bisa jadi ditujukan kepada ucapan dengan penghukuman ataupun amalan. Adapun yang pertama (yaitu ucapan), apabila ucapan tersebut menyelisihi sunnah ataupun ijma’ terdahulu, maka wajib mengingkarinya secara sepakat.” [Lihat Bayânud Dalîl ‘ala Buthlânit Tahlîl karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 210; melalui perantaraan artikel berjudul Qouluhum inna Masa`ilal Khilaf La Inkara Fiha Laysa Bishahih, www.dorar.net]

Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata :

Ucapan mereka ‘sesungguhnya di dalam permasalahan khilaf tidak ada pengingkaran’ tidaklah benar… bagaimana bisa seorang faqih (ahli fikih) berkata tidak ada pengingkaran di dalam masalah yang mukhtalaf fîhâ (yang diperselisihkan) sedangkan para ahli fikih dari seluruh kalangan telah menunjukkan dengan jelas kritikan terhadap keputusan seorang hakim apabila menyelisihi Kitabullah dan Sunnah, walaupun keputusan tersebut selaras dengan pendapat beberapa ulama?” [ Lihat I’lamul Muwaqqi’in karya Imam Ibnul Qoyyim, Juz III hal. 300]

Daftar Bacaan :

Untuk dalil lebih lengkap dalam masalah ini, silakan baca :

  1. Jâmi’ ar-Rosâ`il (I/7) karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah.
  2. Ad-Durorun Nadhîd karya al-‘Allâmah Muĥammad ‘Alî asy-Syaukânî [dengan taĥqîq Syaikh ‘Alî bin Sinân dalam al-Majmū’ al-Mufîd min ‘Aqîdatit Tauhîd]
  3. Ar-Roddu ‘alal Quburiyyin karya al-‘Allâmah Ĥammâd bin Nâshir Alu Mu’ammar [dengan taĥqîq Syaikh ‘Abdūs Salâm Barjas]
  4. At-Tawassul Anwâ’uhu wa Aĥkâmuhu karya al-Mu­­ĥadditsul Ashr, Muĥammad Nâshiruddîn al-Albânî
  5. At-Tawassul Aqsâmuhu wa A­ĥkâmuhu karya Syaikh Abū Anas ‘Alî bin Ĥusain Abū Luz
  6. At-Tawassul Ĥaqô`iq wa Syubuhât karya Syaikh Abū Ĥumaid bin ‘Abdillâh al-Fallâsî
  7. Imâthotul Litsâm wa Kabhul Auhâm [Indonesia : Kuburan Agung, Darul Haq] karya Syaikh Mamduh Farĥan al-Buhairî

Saturday, June 6, 2009

006 - Sunnah Hasanah Bukan Bid'ah Hasanah : Bedah Buku MSN

Poin ketiga : Sunnah hasanah bukan bid’ah hasanah!

Seringkali kita mendengar aktivis bid’ah melaungkan hadith sunnatan hasanatan untuk membenarkan perbuatan bid’ah mereka. Begitu juga dengan Zamihan, beliau membawakan hadith ini untuk membenarkan perbuatan bid’ah yang dinamakannya dengan nama bid’ah hasanah. Apakah benar demikian?

Lihat pernyataannya Zamihan di BKADT : “Lagipun hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Ibnu Majah, al-Nasa’ie secara jelas menyebutkan adanya sunnah sayyi’ah (tidak baik) dan hasanah. Hadith inilah yang dikatakan mengkhususkan lafaz كل بدعة ضلالة ertinya setiap bid’ah adalah sesat.” (selesai nukilan dari BKADT)

Hal ini dijawab oleh Ustadz di dalam MSN ms. 45-48 dengan membawakan jawapan dari Imam asy-Syathibi, Ustadz mengatakan :

Jawapan :
Beliau mempertahankan akan adanya bid’ah hasanah dengan menyertai sebuah hadith yang beliau tidak sebutkan. Beliau mengelirukan pembaca dengan hanya mengatakan hasanah sahaja, sedangkan hadith itu menyatakan sunnah hasanah, bukan bid’ah hasanah sepertimana yang beliau inginkan, tidak menurut lafaz hadith berkenaan! Kerana memang di dalam Islam tidak ada yang dikatakan bid’ah hasanah.
Hadith itu ialah :

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ

“Sesiapa yang mengerjakan sunnah yang baik dalam Islam, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan sesiapa yang mengerjakan sunnah yang buruk dalam Islam, maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.” (Hadith Riwayat Muslim 16/442 no. 6741, al-Nasa’ie, Ibnu Majah, ad-Darimi dll)

Pertama :
Bahawasanya makna مَنْ سَنَّ ertinya : “Sesiapa yang mengerjakan sunnah.”
Ialah mengerjakan amal dalam rangka melaksanakan atau mengikuti, bukan mengerjkan amal dengan membuat syariat baru. Adapun maksud hadith tersebut ialah beramal dengan amalan-amalan yang telahpun ditetapkan dalam sunnah nabawi. Sebab wujudnya hadith ini (asbabul-wurud) menunjukkan benarnya perkara itu iaitu berkenaan sedekah yang telahpun disyariatkan.

Iaitu hadith Jabir, ia berkata :

خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَحَثَّنَا عَلَى الصَّدَقَةِ فَأَبْطَأَ النَّاسُ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ الْغَضَبُ وَقَالَ مَرَّةً حَتَّى بَانَ ثُمَّ إِنَّ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ فَأَعْطَاهَا إِيَّاهُ ثُمَّ تَتَابَعَ النَّاسُ فَأَعْطَوْا حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ السُّرُورُ فَقَالَ مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً

“Rasulullah berkhutbah di hadapan kami, maka baginda memberikan semangat pada manusia untuk bersedekah, akan tetapi para sahabat melambat-lambatkan (tidak bersegera) sehingga kelihatan kemarahan pada raut wajah Rasulullah. Kemudian datanglah seorang lelaki dari kalangan kaum Anshar dengan membawa beg berisi wang (untuk bersedekah), maka sahabat yang lain pada saat itu pun mengikutinya, sehingga kelihatan wajah Rasulullah senang hati dan baginda bersabda : “Sesiapa yang mengerjakan sunnah yang baik dalam Islam….” (Hadith tersebut). Lafaz ini dari ad-Darimi dan lafaz Muslim lebih panjang.

Kedua:
Bahawasanya Rasulullah bersabda مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً ertinya: “Sesiapa yang mengerjakan sunnah yang baik dalam Islam. Sementara baginda juga bersabda كل بدعة ضلالة ertinya : “Semua bid’ah adalah sesat”. Maka tidaklah mungin timbul dari yang benar dan dibenarkan Rasulullah perkataan yang satunya mendustakan perkataan yang lain. Dan tidak mungkin pula perkataan Rasulullah bercanggah selama-lamanya.

Ketiga:
Bahawasanya Nabi bersabda مَنْ سَنَّ : ertinya “sesiapa yang mengerjakan sunnah”. Baginda tidak bersabda من ابتدع ertinya “Sesiapa yang berbuat bid’ah”. Baginda juga bersabda في الاسلام ertinya “dalam Islam”. Sedangkan bid’ah bukanlah dari Islam, dan Rasulullah bersabda: حسنة ertinya “Yang baik”. Sedangkan bid’ah tidak termasuk kebaikan. Maka jelaslah perbezaan antara sunnah dengan bid’ah. Kerana sunnah adalah jalan dalam rangka ittiba’ (mengikuti), sedangkan bid’ah adalah perkara yang baru dalam urusan agama.

Keempat:
Tidaklah pernah ada seorang pun daripada ulama salaf yang menafsirkan: السنة الحسنة ertinya “Sunnah yang baik” dengan yang direka-reka oleh manusia yang datangnya daripada diri mereka sendiri.

Kelima:
Bahawasanya makna: من سن ertinya “Sesiapa yang mengerjakan sunnah” ialah orang yang menghidupkan sunnah yang telah ada sebelumnya. Iaitu ketika sunnah itu ditinggalkan, kemudian menghidupkan kembali. Maka perkataan سنَّ itu disandarkan secara tertentu, yakni bagi orang yang menghidupkan sunnah itu ketika sunnah itu ditinggalkan. Perkara ini ditentukan dalam sebuah hadith yang berbunyi:

مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا

“Sesiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku, kemudian manusia mengamalkannya, maka dia memperoleh pahala sepertimana orang yang mengamalkan sunnah tersebut tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan sesiapa yang mengadakan suatu amalan bid’ah kemudian ianya dikerjakan, maka dia mendapat dosa orang yang mengamalkan bid’ah tersebut tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu.” (HR Ibnu Majah no. 209)

Keenam:
Bahawasanya perkataan من سن سنة حسنة ertinya “Sesiapa yang mengerjakan sunnah yang baik” dan perkataan من سن سنة سيئة ertinya “Sesiapa yang mengerjakan sunnah yang buruk”, pada dasarnya tidaklah mungkin mengandungi pengertian mereka-reka kerana adanya: حسنة ertinya yang baik, dan perkataan yang buruk. Hanya boleh diketahui dengan syara’. Maka lazimnya adanya sunnah dalam hadith tersebut yang baik menurut syara’ dan yang buruk menurut syara’ pula. Sehingga seseorang tidak bersedekah melainkan dengan mencotohi sedekah yang telah diterangkan. Demikian pula dengan sunnah-sunnah lain yang disyariatkan.

Maka sunnah yang buruk merupakan suatu bentuk kemaksiatan yang telahpun ditetapkan oleh syara’, bahawa perkara tersebut adalah maksiat. Seperti peristiwa pembunuhan yang masyhur yang dilakukan oleh anak nabi Adam (Qabil dan Habil). Sepertimana sabda Nabi :

لانه اول من سن القتل

Kerana dia (Qabil) adalah orang yang pertama mengadakan pembunuhan. (Riwayat Bukhari no. 3335)

Perkara ini termasuk bid’ah kerana telahpun ditetapkan oleh syara’ tercelanya dan larangan melakukan pembunuhan. (al-I’tisham 1/236)

Sedikit catitan dari saya (Abu Hurairah) :

Apa yang dimaksudkan untuk jawapan yang Kedua yang dibawakan oleh Ustadz ialah, jika kita menilai kedua-dua hadith berkenaan مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً dan كل بدعة ضلالة dengan memahaminya sebagaimana cara yang difahami oleh Zamihan, bahawa sunnah hasanah adalah bid’ah hasanah, maka akan berlaku pertentangan dengan hadith setiap bid’ah adalah sesat. Satu hadith menganjurkan perbuatan bid’ah dan satu lagi hadith melarang perbuatan bid’ah secara mutlak. Adakah Rasulullah akan menyampaikan syariat yang wujud pertentangan di dalamnya? Pasti tidak!!

Kecelaruan dan syubhat bahawa bolehnya melakukan bid’ah telah dibantah oleh hadith :

مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ ابْتَدَعَ بِدْعَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا

“Sesiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku, kemudian manusia mengamalkannya, maka dia memperoleh pahala sepertimana orang yang mengamalkan sunnah tersebut tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan sesiapa yang mengadakan suatu amalan bid’ah kemudian ianya dikerjakan, maka dia mendapat dosa orang yang mengamalkan bid’ah tersebut tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu.” (HR Ibnu Majah no. 209)

Lalu apakah masih tersisa di hati kalian untuk melakukan bid’ah? Allahul Musta’an





Tuesday, May 26, 2009

005 - Pembahagian Bid'ah : Bedah Buku MSN

Poin Kedua : Pembahagian Bid'ah

Sebagaimana yang dimaklumi, bahawa semua bid’ah adalah sesat. Jika kita menfsirkan perkataan bid’ah dari segi bahasa, kita mendapati bahawa bid’ah bermaksud “segala perbuatan yang tidak ada contoh atau asal-muasal dari sebelumnya”. Jadi apakah ini bermakna menaiki kederaan semacam kereta, motor, kapal terbang dan lain-lain yang tidak ada contoh dari Nabi dihukum sesat sebagaimana dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Maka di sini kami akan menghuraikan masalah ini.

Berkata Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah ketika menjelaskan bagaimana satu-satu perkara itu dihukum bid’ah yang sesat, katanya :

كل بدعة ضلالة قاعدة شرعية كلية بمنطوقها ومفهومها أما منطوقها فكأن يقال حكم كذا بدعة وكل بدعة ضلالة فلا تكون من الشرع لأن الشرع كله هدى فان ثبت ان الحكم المذكور بدعة صحت المقدمتان وانتجتا المطلوب

Sabda Nabi “Kullu bid’atin Dholalah” , merupakan kaedah syar’iyah yang menyeluruh. Adapaun lafaznya, seolah-olah dikatakan “Hukum ini adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat. Maka bid’ah itu tidak termasuk perkara syariat kerana semua syariat adalah petunjuk. Apabila telah tetap hukum yang disebut itu adalah bid’ah, maka berlakulah “Semua bid’ah adalah sesat” baik secara lafaz ataupun makna dan inilah yang dimaksudkan.” (Fathul Bari jil. 13 ms. 267)

Lihat bahagian kata-katanya, “Maka bid’ah itu tidak termasuk perkara syariat kerana semua syariat adalah petunjuk” yang dimaksudkan di sini ialah, selagi mana sesuatu perbuatan itu tidak termasuk kategori bid’ah maka ianya tidak boleh dikatakan bid’ah yang sesat. Ini jelas pada pernyataan beliau “Apabila telah tetap hukum yang disebut itu adalah bid’ah, maka berlakulah “Semua bid’ah adalah sesat” baik secara lafaz ataupun makna dan inilah yang dimaksudkan”. Begitu juga bid’ah tidak boleh dimasukkan ke dalam syariat kerana bid’ah adalah kesesatan sedangkan syariat adalah petunjuk dan keseluruhan syariat telah diterangkan dan disampaikan oleh Nabi.

Ini juga membuktikan bahawa tidak wujud bid’ah hasanah. Kerana keseluruhan bid’ah adalah sesat. Kemudian jika sesuatu amal perbuatan itu dinamakan bid’ah hasanah kerana ada dasar dalam syariat, maka ianya tertolak kerana jika ia terdapat dalam syariat, lebih benar lagi amalan itu dinamakan dengan sunnah ataupun perbuatan yang disyariatkan.

Tentang masalah ini, para ulama telah membahagikan bid’ah ini kepada dua bahagian. Untuk keterangan yang detail, saya bawakan jawapan di dalam buku MSN yang menjawap syubhat Zamihan tentang bid’ah.

Ustadz mengatakan di halaman 15 mengenai erti bid’ah:

Berdasarkan dalil-dalil di atas, maka para ulama telah memberikan beberapa definisi dan takrif berkenaan bid’ah menurut istilah syara’ seperti berikut.

Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

ما أحدث مما لا أصل له في الشريعة يدل عليه وأما ما كان له أصل من الشرع يدل عليه فليس ببدعة شرعا وإن كان بدعة لغة

Yang dimaksudkan dengan bid’ah ialah apa-apa yang diada-adakan tanpa ada asalnya dalam syariat yang menunjukkan perbuatan tersebut. Adapun yang ada asalnya daripada syariat yang menunjukkan perbuatan tersebut bukanlah suatu bid’ah menurut syariat walaupun dikatakan secara bahasa. (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam 2/127)

Imam Suyuthi berkata :

والبدعة عبارة عن فعلة تصادم الشريعة بالمخالفة، أو توجب التعاطي عليها بزيادة أو نقصان

Bid’ah adalah pengungkapan dari suatu perbuatan yang menolak syariat dengan cara menyelisihinya atau menyebabkan pertentangan dengan syariat sama ada dengan menambah atau mengurangkannya. (Al-Amru bil Ibtiba’ ms. 81 oleh as-Suyuthi)

Imam Syathibi telah membahas masalah ini dengan begitu teliti, definisi yang dibawakan oleh beliau adalah definisi yang paling bagus, di mana beliau menyatakan :

عبارة عن طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشرعية يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه

Bid’ah ialah suatu jalan yang direka-reka di dalam urusan agama yang mana ianya menyerupai syariat dan dilaksanakan dengan maksud bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah subanahu wa ta’ala. (al-I’tisham 1/27) [selesai nukilan dari MSN]

Saya (Abu Hurairah) mengatakan : kesimpulan yang dapat diambil dari ulasan para ulama di atas ialah, 1) bid’ah itu adalah sesat sehingga ia perlu ditolak 2) para ulama membahagikan bid’ah kepada dua bahagian sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah iaitu bid’ah dari segi bahasa dan syara’.

Kontroversi perkataan Imam Syafie –Bid’ah itu ada dua hasanah dan dholalah

Ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafie rahimahullah :

البدعة بدعتان: بدعة محمودة، وبدعة مذمومة، فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم

(1) Bid’ah itu ada dua bentuk : Bid’ah mahmudah dan Bid’ah Mazmumah (tercela). Maka apa yang bersesuaian dengan sunnah, ianya terpuji dan apa yang menyelisihi sunnah maka ia adalah tercela.”

Dalam pernyataan yang lain, Imam Syafie rahimahullah berkata :

(2)المحدثات في الأمور ضربان: أحدهما ما حدث يخالف كتاباً أو سنة أو أثراً أو إجماعاً فهذه البدعة الضلالة. والثاني: ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا فهي محدثة غير مذمومة

Suatu yang diada-adakan (perkara baru di dalam agama) ada dua bentuk : Sesuatu yang diada-adakan yang menyelisihi kitab (al-Quran) atau sunnah, atau atsar ataupun ijma’, maka ianya adalah bid’ah yang sesat. Dan sesuatu yang diada-adakan dari kebaikan yang ia sedikitpun tidak menyelisihi sunnah, maka ia tidak tercela.” (Al-Amru bil Ibtiba’ ms. 89 oleh as-Suyuthi)

Jawapan :

Mungkin sesetengah orang beralasan dengan kata-kata Imam Syafie mengenai wujudnya bid’ah hasanah dalam agama, sehinggakan mereka redha mengamalkan bid’ah hasanah melebihi mengamalkan sunnah Nabi.

Ustadz telah memberikan jawapan kepada orang-orang yang berhujah dengan ucapan Imam Syafie untuk membenarkan bid’ah hasanah dengan membawakan perkataan para ulama sebagaimana di dalam MSN hlmn 17, katanya :

1) Suatu ucapan atau pendapat seseorang tidak boleh ataupun pendapat dari seseorang tidak boleh menyalahi sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walau bagaimana kedudukannya sekalipun. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hujah ke atas semua manusia, tidaklah sebaliknya iaitu ucaoan seseorang menjadi hujah ke atas sabda Nabi.

Abdullah Bin Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata :

ليس احد الا ويؤخذ من رأيه ويترك ما خلا النبي

“Tidaklah seseorang itu kecuali pendapatnya boleh diterima dan ditolak melainkan Nabi” [Di dalam buku MSN tidak disebutkan nota kaki bagi atsar ini, di sini saya bawakan dan saya hanya menemukan perkataan ini pada lafaz (ما من أحد إلا يؤخذ من علمه ويترك إلا رسول الله) dari Ibnu Abbas disebutkan di dalam Takhrij Ahadits al-Ihya’ oleh al-‘Iraqi (تخريج أحاديث الإحياء). Adapun perkataan seperti di atas dengan lafaz (ليس أحد إلا يؤخذ من قوله ويترك من قوله إلا النبي) dari Mujahid seperti mana yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi di dalam al-Madkhal ila Sunnan al-Kubra (1/107)]

2) Orang yang meneliti perkataan Imam Syafie rahimahullah tidak akan teragak-agak untuk menetapkan bahawa bid’ah mahmudah yang dimaksudkan oleh beliau adalah bid’ah pada bahasa bukan pada syara’ berdasarkan dalil : Bahawa semua bid’ah pada pengertian syara’ ialah amalan yang menyelisihi al-Kitab dan Sunnah.

Sesungguhnya Imam Syafie membataskan bid’ah mahmudah kepada perkara yang tidak menyalahi al-Kitab dan Sunnah. Sedangkan semua bid’ah pada syara’ ianya menyalahi firman Allah :

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, (QS. al-Maidah 5:3)

Dan menyalahi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Daripada Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesiapa yang mengada-adakan perkara baru daam urusan (agama) kita, yang ianya bukan dari agama, maka perbuatannya itu tertolak (tidak diterima oleh Allah).” (Bukhari no. 2697)

Juga menyalahi ayat-ayat dan hadits-hadits yang lain. [selesai nukilan dari MSN]

Saya berkata : Secara ringkas apa yang kita dapat difahami ialah, bahawa bid’ah yang sesat diukur dari sisi syara’ sedangkan bid’ah dari segi bahasa tidaklah ia dikatakan sesat. Inilah kesepakatan para ulama mengenai bid’ah lughawi (bahasa) dan syarie (syara’). Dan perkataan Imam Syafie sendiri telah dijelaskan oleh ulama yang lain iaitu Ibnu Rajab bahawa tidak wujud syariat yang baru atas nama bid’ah hasanah. Maka orang yang menolak hujah ulama tanpa ilmu (untuk membenarkan bid’ah hasanah), maka tidak diragukan lagi bahawa dia adalah pengikut hawa nafsu yang tegar.

Ustadz membawakan perkataan Ibnu Rajab di halaman 19 di MSN di mana Ibnu Rajab berkata :
ومراد الشافعي رضي الله عنه ما ذكرناه من قبل أن أصل البدعة المذمومة ما ليس لها أصل في الشريعة ترجع إليه وهي البدعة في إطلاق الشرع وأما البدعة المحمودة فما وافق السنة يعني ما كان لها أصل من السنة ترجع إليه وإنما هي بدعة لغة لا شرعا لموافقتها السنة

“yang dimaksudkan oleh Imam Syafie yang telah kita sebutkan sebelumnya (no. 1 dan 2 di atas –pen-), bahawasanya pada dasarnya bid’ah yang tercela adalah sesuatu yang tidak ada asalnya menurut syariat yang ia akan kembali kepadanya. Inilah bid’ah menurut syara’. Adapun bid’ah yang terpuji iaitu apa-apa yang bertepatan dengan sunnah yang kembali kepadanya, hanyasanya pemahaman ini secara bahasa bukan secara syara’, kerana ia bertepatan dengan sunnah”. (Jami’ul ‘Ulum Wal Hikam jil. 2 ms. 131)
Bid’ah pada bahasa yang dimaksudkan oleh Imam Syafie yang dikatakan mahmudah seperti, penulisan hadits dan solat terawih. Perbuatan ini boleh dikatakan dalam bahasa sebagai bid’ah kerana ianya tidak dikerjakan sebelumnya. Adapun pada syara’, ianya tidak boleh dikatakan sebagai bid’ah kerana mempunyai asal dari as-Sunnah tentang pensyariatannya. [selesai nukilan dari MSN]

Para ulama yang membahagikan bid’ah kepada lughawi dan syarie

1)Ibnu Katsir berkata di dalam tafsirnya berkaitan firman Allah: بديع السموات والارض
{ بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ } أي: خالقهما على غير مثال سبق، قال مجاهد والسدي: وهو مقتضى اللغة، ومنه يقال للشيء المحدث: بدعة. كما جاء في الصحيح لمسلم: "فإن كل محدثة بدعة [وكل بدعة ضلالة] " . والبدعة على قسمين: تارة تكون بدعة شرعية، كقوله: فإن كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة. وتارة تكون بدعة لغوية، كقول أمير المؤمنين عمر بن الخطاب رضي الله عنه عن جمعه إياهم على صلاة التراويح واستمرارهم: نعْمَتْ البدعةُ هذه.

Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi” bermaksud Dialah yang menciptakan kedua-duanya tanpa ada contoh yang sebelumnya. Menurut Mujahid dan as-Suddiy menyatakan bahawa makna yang dikehendaki ialah secara bahasa. Oleh sebab itulah dikatakan bahawa orang yang melakukan perkara

baru dalam agama adalah bid’ah. Sepertimana yang dijelaskan di dalam kitab Shahih Muslim bahawa Nabi bersabda yang bermaksud “Sesungguhnya setiap perbuatan yang baru itu adalah bid’ah.”

Dan bid’ah itu pada dasarnya terbahagi kepada dua bahagian iaitu pertama : Bid’ah Syar’iyah (menurut syara’) kedua Bid’ah lughawi (menurut bahasa). Adapun yang dimaksudkan dengan bid’ah syar’iyah ialah sesuai dengan sabda Nabi beriktu ini, ertinya “Sesungguhnya setiap perbuatan baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.” Manakala yang dimaksudkan dengan bid’ah lughawi ialah seperti perkataan Amirul Mukminin Umar al-Khatthab tentang solat terawih berjemaah yang dilakukan secara terus-menerus di mana beliau berkata “Sebaik-baik perbuatan bid’ah adalah ini (solat terawih berjemaah)”.
(Tafsir Quranil ‘Azhim oleh Imam Ibnu Katsir 1/153 - di dalam buku MSN perkataan {هى} digunakan pada teks arabnya, lalu saya digantikan dengan {هذه} pada teks arabnya kerana perkataan ini lebih masyhur dan memang perkataan ini {هذه} terdapat di dalam tafsir Ibnu Katsir. Mungkin rujukan yang diambil oleh Ustadz tertulis perkataan {هى} ataupun mungkin kesalahan dari penulisan Ustadz, harap maklum Allahu a'lam)

2)Berkata al-‘Allamah Ibnu Hajar al-Haitami al-Syafie dalam fatwanya :

هي ما لم يقم دليل شرعي على أنه واجب أو مستحب سواء أفعل في عهده أو لم يفعل كإخراج اليهود والنصارى من جزيرة العرب وقتال الترك لما كان مفعولا بأمره لم يكن بدعة وإن لم يفعل في عهده وكذا جمع القرآن في المصاحف والاجتماع على قيام شهر رمضان وأمثال ذلك مما ثبت وجوبه أو استحبابه بدليل شرعي
وقول عمر رضي الله عنه في التراويح نعمت البدعة هي أراد البدعة اللغوية وهو ما فعل على غير مثال كما قال
تعالى ) قل ما كنت بدعا من الرسل ( وليست بدعة شرعا فإن البدعة الشرعية ضلالة كما قال ومن قسمها
من العلماء إلى حسن وغير حسن فإنما قسم البدعة اللغوية ومن قال كل بدعة ضلالة فمعناه البدعة الشرعية

“bid’ah menurut syara’ ialah suatu perbuatan yang tidak ada dalil syara’ dalam perkara yang dwajibkan atau disunnahkan untuk melakukannya. Sekiranya ada dalil syara’ yang menyatakan bahawa pernah atau tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah, maka tentulah tidak boleh disebut sebagai bid’ah sayyiah (buruk). Perintah Nabi untuk mengusir orang-orang yahudi dan nashrani dari Jazirah arab dan memerangi mereka bukanlah termasuk perbuatan bid’ah walaupun perbuatan itu tidak pernah berlaku di zaman baginda. Demikian juga dengan pengumpulan al-Quran dalam mashaf. Juga mengenai ijtima’ (pengumpulan) Qiamul-lail Ramadhan dan sebagainya. Termasuk juga penetapan hukum wajib dan disunnahkan yang berdasarkan dalil syara’. Juga berkenaan perkataan Umar mengenai Solat terawih di mana beliau berkata “Sebaik-baik bid’ah ialah perbuatan ini”.

Adapun bid’ah menurut bahasa ialah perbuatan yang tidak diperintahkan dan tidak dicontohkan. Sepertimana yang disebutkan dalam firman Allah berikut ini

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنَ الرُّسُلِ

Katakanlah: "Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul (QS. al-Ahqaf 46:9)

Yang dimaksudkan dengan bid’ah dalam ayat ini bukanlah bid’ah sayyiah (buruk). Kerana bid’ah sayyiah semuanya sesat sepertimana yang dijelaskan oleh Rasulullah di atas. Sesiapa antara ulama yang membahagikannya menjadi bid’ah hasanah dan sayyiah, maka permbahagian itu adalah pembahagian lughawi. Dan orang yang mengatakan semua bid’ah itu sesat, maka pemahamannya diambil dari makna bid’ah syar’iyah”. (As’ilah ms. 57, al-Fatawa oleh Ibnu Hajar al-Haitami 1/109)
Dengan dua perkataan ulama tadi tentang pembahagian bid’ah kepada lughawi dan syar’ie, maka jelaslah di sini bahawa bid’ah yang sesat adalah yang dilakukan di dalam agama. Adapun selain dari agama, maka ia adalah bid’ah hasanah. Allahu a’lam selesai jawapan kepada orang-orang yang sering melaungkan “jika begitu sesatlah penggunaan kereta, kapal terbang dll”. Inilah jawapan untuk mereka bahawa bid’ah yang mereka sebutkan tadi hanya terbatas kepada bid’ah lughawi. alhamdulillah



Friday, May 22, 2009

004 - Takhrij Hadits Muawiyah bin Hakam as-Sulami : Jawapan Kepada Syubhat Orang Yang Mendhaifkan Hadits ini

Takhrij Hadits Muawiyah bin Hakam as-Sulami : Jawapan Kepada Syubhat Orang Yang Mnedhaifkan Hadits ini

Teringin di hati saya untuk menjawab syubhat yang ditimbulkan oleh 2 orang pendakyah ahbash yang datang ke Sabah pada awal tahun yang lalu. Di mana mereka datang membawakan mesej dan laungan "Allah Wujud Tanpa Bertempat". Namun kerana beberapa kesulitan maka hal ini saya tunda untuk beberapa waktu. Sehingga saat ini baru saya berkelapangan untuk membawakn jawabannya.

Mereka membawakan risalah dan disebarkan di kawasan Universiti Malaysia Sabah yang di dalamnya mengandung syubhat yang besar yang dapat memalingkan umat dari aqidah yang shahih mengikut pemahaman salafus soleh.

Mereka mengatakan bahawa takhrij hadits Muawiyah bin Hakam as-Sulami dinilai dhaif kerana sanadnya mengandungi kegoncangan. Jadi di sini saya bawakan hujah untuk menolak syubhat ini yang telah disampaikan oleh al-Akh Nawawi Subandi -jazahullahu khoiron jazaa'- :

عَنْ مُعَاوِيَةُ بْنُ حَكَمُ السُّلَمِي: وَكَانَتْ لِيْ جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ قِبَلَ اُحُدٍ وَالْجُوَانِيَةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ، فَاِذَا بَالذِّئْبِ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَاَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِيْ آدَمَ، اَسَفُ كَمَا يَاْسَفُوْنَ. لَكِنَّيْ صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فَاَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ. قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ اَفَلاَ اَعْتِقُهَا؟ قَالَ : اِئْتِنِيْ بِهَا. فَقَالَ لَهَا: اَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِى السَّمَاءِ. قَالَ: مَنْ اَنَا؟ قَالَتْ: اَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ: اَعْتِقُهَا فِاِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

Daripada Muawiyah bin Hakam As-Sulami (radhiyallahu ‘anhu), beliau berkata: “Aku memiliki seorang hamba wanita yang mengembalakan kambing di sekitar pergunungan Uhud dan Juwaiyah. Pada suatu hari aku melihat seekor serigala menerkam dan membawa lari seekor kambing gembalaannya (peliharaannya). Dan aku adalah termasuk salah seorang anak Adam (keturunan adam) dari manusia kebanyakan. Maka aku mengeluh sebagaimana mereka (memiliki rasa marah/tidak berpuas hati). Atas sebab itu (apabila kambingnya dimakan serigala) wanita itu aku pukul dan aku marahi. Kemudian aku pergi berjumpa Rasulullah, maka baginda mempersalahkan aku. Aku berkata: “Wahai Rasulullah! Adakah aku harus memerdekakannya?” Jawab Rasulullah: “Bawalah wanita itu ke sini”. Maka Rasulullah bertanya kepada wanita itu. “Di mana Allah?” Dijawabnya: “Di langit”. Rasulullah bertanya lagi: “Siapakah aku?” Dijawabnya: “Engkau Rasulullah”. Maka baginda bersabda: “Merdekakanlah wanita ini, kerana dia adalah seorang mukminah”.”

Hadis ini melalui dua jalan (jalur periwayatan) sebagaimana berikut:

1 – Jalur Imam Malik: Dari Hilal bin Ali Abu Maimunah, dari Atha’ bin Yasar, dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami.

Boleh disemak di dalam:

- al-Muwaththa’, 2/722, no. 8. oleh Imam Malik.
- ar-Risalah, no. 242. oleh Imam asy-Syafi’i, tahqiq Syaikh Ahmad Syakir.
- Sunan al-Kubra, oleh an-Nasa’i, sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf, 8/427. oleh al-Mizzi.
- ar-Radd ‘Alal Jahmiyyah, no. 62. oleh Imam ad-Darimi.
- Kitabut Tauhid, m/s. 132. oleh Ibnu Khuzaimah, tahqiq Syaikh Khalil Haras.
- Sunan al-Kubra, 10/98, no. 19984. oleh al-Baihaqi.
- at-Tamhid, 9/69-70. oleh Ibnu Abdil Barr.

2 – Jalur Yahya bin Abi Katsir: dari Hilal bin Ali bin Abi Maimunah, dari Atha’ bin Yasar, dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami.

Boleh disemak di dalam:

- al-Musnad, 5/448. oleh Imam Ahmad.
- Juz al-Qira’ah, m/s. 70. oleh al-Bukhari.
- Sunan Abu Daud, no. 931, 3282. oleh Abu Daud.
- Sunan al-Kubra, oleh an-Nasa’i, sebagaimana di dalam Tuhfatul Asyraf, 8/427. oleh al-Mizzi.
- Kitabut Tauhid, m/s. 132. oleh Ibnu Khuzaimah, tahqiq Syaikh Khalil Haras.
- Syarhus Sunnah, 3/237-239, no. 726. oleh al-Baghawi.
- al-Mu’jam al-Kabir, 19/398, no. 938. oleh ath-Thabrani.
- Shahih Muslim, no. 537.
- dan banyak lagi...

Hadis ini telah disepakati kesahihannya oleh seluruh ulama kaum muslimin. Ini adalah sebagaimana sebahagian ulasan yang dibawakan di bawah:

1 – Imam al-Baihaqi berkata: “Hadis ini sahih, dikeluarkan oleh Muslim.” (al-Asma’ wa Shifat, m/s. 532-533, cet. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah)

2 – Imam al-Baghawi berkata: “Hadis ini sahih, dikeluarkan Muslim dari Abu Bakar bin Abi Syaibah dari Ismail bin Ibrahim dari Hajjaj.” (Syarhus Sunnah, 3/239, 9/247)

3 – Imam Ibnu Qudamah berkata: “Hadis ini sahih.” (Itsbat as-Shifat al-‘Uluw, m/s. 47)

4 – Imam adz-Dzahabi berkata: “Hadis ini sahih, dikeluarkan Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, dan imam-imam yang lainnya di dalam kitab-kitab mereka dengan memperlakukannya sebagaimana datangnya tanpa ta’wil dan tahrif. (al-‘Uluw lil ‘Aliyyil ‘Azhim, 1/249, tahqiq Abdullah bin Soleh al-Barrok)

5 – al-Hafiz Ibnu Hajar al’Asqalani berkata: “Hadis ini sahih, diriwayatkan oleh Muslim. ()Fathul Bari, 13-359

6 – Syaikh al-Albani berkata: “Hadis ini sahih dengan tanpa ada keraguan. Tidak ada yang meraguinya melainkan orang-orang yang jahil dan pendukung hawa nafsu.” (Mukhtashar al-‘Uluw, m/s. 82)

7 – Begitu juga Imam asy-Syafi’i yang telah jelas menggunakan hadis ini untuk berhujjah dan pegangan sebagaimana katanya:

“Dengan itu, Rasulullah memutuskan keimanan budak wanita (jariyah/hamba wanita) tersebut ketika ia mengakui bahawa Rabbnya di langit dan dia tahu tentang Rabbnya melalui sifat ‘uluw dan fauqiyah (di atas).” (al-Umm, asy-Syafi’i, 5/280. al-Manaqib, al-Baihaqi, 1/398)

Bahkan, ini hanyalah sedikit nukilan, hakikatnya begitu banyak lagi. Begitulah akan keabsahan hadis ini di sisi ahlus Sunnah wal jama’ah dari dahulu hingga kini.

Syubhat Ahlul Bid’ah Terhadap Hadis Ini:

Terdapat segolongan pihak yang menyatakan, “Hadis ini menimbulkan kesan yang membawa kepada penunjukkan Allah itu menetap di suatu tempat yang mana perkara ini adalah mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.”

Jawabannya:

Apabila yang dimaksudkan “tempat” (makan) adalah yang tersirat di dalam benar fikiran mereka, iaitu setiap yang meliputi dan membatasi seperti langit, bumi, kursi, ‘Arsy, dan sebagaimnya, maka adalah benar perkara itu mustahil bagi Allah berdasarkan kesepakatan seluruh ulama Islam, kerana Allah tidak mungkin dibatasi dan diliputi oleh makhluk, bahkan Dia lebih besar dan Agung, bahkan kursi-Nya sahaja meliputi langit dan bumi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang selayaknya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi Dia dari sebarang apa yang mereka persekutukan.” (QS. az-Zumar 39: 67)

Begitu juga di dalam Shahih al-Bukhari, no. 6519 dan Muslim, no. 7050, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman: Aku adalah raja, manakan raja-raja bumi?”

Ada pun apabila yang dimaksudkan adalah “tempat” sebagai sesuatu yang tidak meliputi yakni di luar alam semesta, maka Allah di luar alam semesta sebagaimana keberadaan-Nya sebelum menciptakan makhluk. Jadi, Allah di tempat yang bermakna kedua ini bukanlah makna pertama. (Rujuk: Muqaddimah Mukhtashar al-‘Uluw, m/s. 70-71. oleh al-Albani)

Yang menjadikan persoalan ini sehingga memeningkan (rumit) sebenarnya adalah kerana mereka menggunakan ilmu Kalam (falsafah/pemikiran) iaitu yang telah diserapkan ke dalam persoalan ini, sehingga mereka mengatakan kepada penganutnya: “Tidak dibolehkan mengatakan: “Allah di atas langit.” Kenapa? Kerana Allah tidak memerlukan tempat dan Allah tidak bertempat.” Kita katakan: Benar, Allah tidak memerlukan kepada tempat, tetapi perlu diketahui bahawa seseorang Muslim ketika meyakini bahawa Allah di atas langit bukanlah bermakna seperti seseorang di dalam bilik (kamarnya)! Kenapa? Kerana ini adalah tasybih (penyerupaan Allah dengan makhluk), sekali-kali tidak! (Rujuk: Minhaj Ahli Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah wal Amal, m/s. 134. oleh Abu Abdillah an-Nu’mani, m/s. 134)

Wallahu a’lam.