Wednesday, June 17, 2009

007 - Menjawab Syubhat Tawassul

Syubhat dalam masalah Tawassul -hadits Utsman Bin Hunaif

Oleh: al-Ustadz Abu Salma al-Atsary

Telah datang berbagai syubhat dari segenap penjuru yang mana syubhat ini datangnya dari aktivis bid’ah yang sangat mencintai bid’ah dan memusuhi sunnah dan ahlinya. Mereka cuba membawakan dalil untuk membenarkan aktiviti mereka dengan membungkusnya sebaik mungkin lalu menjadilah ia satu produk ‘Sunnah’. Dengan berpandukan kepada satu hadits ini dan memasukkan syubhat/pemahaman batil di dalamnya, maka mereka membenarkan tawassul kepada orang yang telah mati. Dimulai dari dzat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sehinggalah kepada orang-orang yang ‘shalih’ atau ‘wali’ di antara mereka.

Berikut ini merupakan kupasan dari al-Ustadz Abu Salma berkaitan masalah tawassul di dalam hadits Utsman Bin Hunaif. Moga bermanfaat artikel ini kepada seluruh kaum muslimin dan semoga Allah memudahkan langkah kita bersama-sama untuk menelusuri jalannya Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam seluruh masalah ad-Dien terutama dalam masalah Tawaasul.

Baiklah, sekarang mari kita mengupas ĥadîts ’Utsman bin Ĥunaif ini.

عن عثمان بن حينف : « أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : ادع الله أن يعافيني . قال : ” إن شئت دعوت لك وإن شئت صبرت فهو خير لك فقال : ادعه . فأمره أن يتوضأ فيحسن وضوءه فيصلي ركعتين ويدعو بهذا الدعاء : ” اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة ، يا محمد إني توجهت بك إلى ربي في حاجتي هذه فتقضى لي ، اللهم فشفعه في وشفعني فيه ، قال : ففعل الرجل فبرأ »

Dari ’Utsmân bin Ĥunaif : Bahwasanya seorang lelaki yang matanya buta mendatangi Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam seraya berkata : ”Berdoalah kepada Allah agar Ia menyembuhkanku.” Nabi menjawab : ”Jika kamu mau aku akan mendoakanmu, dan jika kamu mau untuk bersabar maka hal ini lebih baik.” Lalu orang buta itu berkata : ”berdoalah”. Lantas Nabi memerintahkannya untuk berwudhu’ dengan sebaik-baiknya lalu sholatlah dua roka’at kemudian berdoalah dengan doa ini : ’Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muĥammad, Nabi yang penuh raĥmat. Wahai Muĥammad, sesungguhnya saya menghadap dengan engkau kepada Rabbku untuk memenuhi hajatku ini, maka penuhilah untukku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku dan terimalah syafa’atku untuknya.” Dia (’Utsman bin Ĥunaif) berkata : ”Lelaki buta itu mengamalkannya lalu ia pun sembuh.” [Lafazh Ibnu Mâjah].

Di dalam riwayat al-Ĥâkim, lafazhnya adalah sebagai berikut :

أن رجلا ضرير البصر أتى النبي صلى الله عليه وسلم ، فقال : يا رسول الله ، علمني دعاء أدعو به يرد الله علي بصري ، فقال له : « قل اللهم إني أسألك ، وأتوجه إليك بنبيك نبي الرحمة ، يا محمد إني قد توجهت بك إلى ربي ، اللهم شفعه في ، وشفعني في نفسي » ، فدعا بهذا الدعاء فقام وقد أبصر تابعه

Bahwasanya seorang lelaki buta mendatangi Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam seraya berkata : ”Wahai Rasūlullâh, ajarkanlah aku sebuah doa yang mana aku berdoa dengannya Allah berkenan mengembalikan pengelihatanku. Nabi lantas bersabda padanya : ”Katakan, Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabîmu, seorang nabi yang penuh rahmat. Wahai Muĥammad sesungguhnya aku menghadap denganmu ke hadapan Rabbku. Ya Allah terimalah terimalah syafaatnya untukku dan terimalah syafaatku untuk diriku.”

Serupa dengan lafazh di atas yang diriwayatkan oleh Imâm Aĥmad, an-Nasâ`î, dan selainnya.

Menurut Ahlus Sunnah, ĥadîts di atas tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kehormatan/kemuliaan Nabi, baik di masa hidup maupun wafat beliau. Demikian pula ĥadîts di atas tidak menunjukkan bolehnya bertawassul dengan kehormatan/kemuliaan selain beliau. Ĥadîts ini hanya menunjukkan kebolehan bertawassul dengan do’a dan syafa’at Nabî di masa hidup beliau saja.

Ĥadîts di atas menunjukkan tawassulnya orang buta tersebut adalah dengan do’a Nabî, bukan dengan kehormatan/kemuliaan Nabi apalagi dzât beliau Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam. Berikut ini adalah perbahasannya :

  1. Orang buta itu datang kepada Nabi supaya didoakan kesembuhan, sebagaimana nampak jelas dalam ucapannya : ”Berdoalah kepada Allah agar Ia menyembuhkanku.” Jadi, maksud orang buta ini datang kepada Nabî adalah minta agar didoakan beliau, bukannya bertawassul dengan dzât atau kemuliaan beliau. Dia bertawassul dengan doa Nabî, dan hal ini adalah termasuk tawassul yang diperbolehkan.
  2. Nabi Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam memberikan pilihan kepadanya, apabila ia mau sabar maka hal ini lebih baik, dan apabila ia tetap mau didoakan, maka Nabi berjanji akan mendoakannya dan mengajarinya doa. Jadi, kembalinya adalah bertawassul dengan do’a Nabi. Hal ini menunjukkan bahwa bersabar adalah lebih utama.
  3. Ketetapan pilihan orang buta tersebut supaya didoakan kesembuhan dari penyakitnya. Hal ini sekali lagi menunjukkan bahwa orang ini datang untuk minta didoakan kesembuhan. Rasūlullâh pun memenuhi janjinya untuk mendoakan orang tersebut dan mengajarkan do’a kepada orang buta tersebut.
  4. Orang buta tersebut bertawassul dengan ’amal shâlihnya, yaitu tawassul dengan amal ketaatannya di dalam menerima perintah Nabî untuk sholât dua rakaat dan dengan amal ibadah sholat dua rakaatnya itu sendiri. Telah jelas sebelumnya bahwa tawassul dengan amal shâliĥ kita sendiri adalah dibolehkan.
  5. Adanya lafazh doa yang diajarkan Nabî, ”Ya Allah terimalah syafaatnya untukku”, menunjukkan akan batilnya pemahaman tawassul dengan dzât Nabî, karena sangat mustahil kalimat ini dibawa kepada pemahaman tawassul dengan kehormatan ataupun dzât Nabî. Maknanya yang benar dari ”Ya Allah terimalah syafaatnya untukku” adalah ”Ya Allah, terimalah dan kabulkanlah doanya untukku agar pengelihatanku kembali.” Karena syafa’at itu maknanya adalah doa.
  6. Lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya” menunjukkan lebih jelas lagi akan ketidakmungkinan ĥadîts di atas difahami bertawassul dengan dzât atau kehormatan Nabî. Sekiranya difahami bahwa ucapan doa si lelaki buta tadi adalah tawassul dengan dzât Nabî, lantas bagaimana kita menempatkan lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya”, apakah Nabî bertawassul pula dengan dzât atau kehormatan si buta? Padahal maknanya yang benar adalah ”dan terimalah syafatku/doaku agar engkau menerima doa/syafaat beliau (Nabî).
  7. Dalam kalimat ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabîmu”, ada suatu kata yang maĥdzūf (tersembunyi) pada kalimat itu, dan taqdir (perkiraannya) adalah ”doa” [yang maknanya adalah : ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan doa Nabî-Mu”], bukannya ”kehormatan” ataupun ”dzât” [yang maknanya adalah ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan dzât atau kehormatan Nabî-Mu”]. Karena apabila ditaqdirkan dengan ”dzât” atau ”jâh” (kedudukan/kemuliaan), lantas untuk apa orang buta itu susah-susah mendatangi Nabî, padahal ia bisa berdoa di rumahnya seraya mengatakan : ”Ya Allah, dengan kehormatan Nabi-Mu, aku memohon agar Engkau menyembuhkan mataku”…
  8. Ĥadîts ini disebutkan oleh para ’Ulamâ` di dalam masalah mukjizat-mukjizat Nabî, doa-doa Nabî yang mustajâbah dan keberkahan doa beliau. Imâm Baihaqî memasukkan ĥadîts ini ke dalam bâb Dalâ`ilun Nubūwah. Hal ini menunjukkan kesembuhan orang buta tersebut berkat doa Nabî yang maqbūl. Sekiranya hanya berkat doa orang buta itu semata, niscaya setiap orang buta yang berdoa dengan doa ini dengan ikhlash pasti akan mendapatkan kesembuhan, padahal realitinya tidak demikian. Demikian pula, sekiranya kesembuhannya disebabkan tawassulnya dengan dzât Nabî, niscaya orang-orang buta lainnya yang bertawassul dengan dzât Nabî pastilah sembuh padahal realitinya juga tidak demikian.

Beberapa Syubhât dan Jawabannya

Syubhat Pertama :

Apabila mereka berkata : Di dalam riwayat-riwayat yang mu’tabar, tidak disebutkan lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya”, yang ada hanya sampai lafazh ”terimalah syafaatnya untukku”. Hal ini menunjukkan bahwa ada kemungkinan bahwa makna tawassul dalam ĥadîts ini adalah tawassul dengan dzât atau jâh Nabî.

Jawab : Dakwaan tersebut tidak benar. Karena lafazh ”dan terimalah syafa’atku untuknya” adalah lafazh yang mu’tabar dan dikenal di dalam kitab-kitab ĥadîts. Lafazh ini ada di dalam riwayat A­ĥmad dan al-Ĥâkim, dishaĥîĥkan oleh al-Ĥâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabî.

Banyak penulis masa kini tidak menyebutkan lafazh terakhir ini dikarenakan apabila mereka menukilkannya, niscaya penakwilan mereka terhadap ĥadîts ini kepada tawassul dengan dzât tidak akan dapat dilakukan. Untuk itulah, mereka seringkali memotong dan meniadakan lafazh ini. Hal ini menunjukkan ketidakamanatan mereka.

Syubhat Kedua :

Apabila mereka berkata : Di dalam riwayat lain, dari Hammâd bin Salamah yang dikeluarkan oleh Abū Khaitsamah dalam Târikh-nya, ada tambahan riwayat :

وإن كانت لك حاجة فعل مثل ذلك

Apabila kamu memiliki hajat lainnya maka lakukan seperti ini.”

Bukankah hal ini menunjukkan bahwa doa ini boleh dilakukan untuk hajat yang lain, bila-bila masa saja dan di mana saja selama memiliki hajat? Ini artinya, klaim yang menyatakan bahwa tawassul di sini bermakna tawassul dengan meminta doa Nabî adalah tidak tepat. Karena, apabila dimaksudkan bertawassul dengan meminta doa Nabî, mengharuskan dia mendatangi Nabî. Namun, ĥ­adîts ini menunjukkan bahwa, orang buta tersebut cukup sekali saja menemui Nabî, lalu setelah itu ia boleh melakukannya (berdoa) di mana saja dan bila-bila masa saja yang dia mau, padahal telah jelas di dalam lafazh doa tersebut adalah lafazh ’Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muĥammad, Nabi yang penuh raĥmat’, sehingga lafazh ”dengan Nabi-Mu Muĥammad”, tentu saja akan bermakna dengan ”kehormatan”, ”jâh” atau ”dzât” Nabi.

Jawab : Syaikhul Islâm Ibnu Taimîyah raĥimahullâh di dalam al-Qâ’idah al-Jalîlah (hal. 102) menerangkan status infirâd (kesendirian) riwayat Hammâd bin Salamah di dalam meriwayatkan riwayat tambahan ini. Riwayat ini juga bertentangan dengan riwayat Syu’bah, yang lebih atsbat dan tsiqoh dibandingkan Hammâd.

Di dalam kaidah ĥadîts yang mu’tabar, seperti dijelaskan oleh al-Ĥâfizh dalam Nukhbatul Fikr, bahwa riwayat tambahan itu diterima selama tidak bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqât. Riwayat yang demikian ini dikategorikan riwayat yang syâdz (ganjil). Al-Muĥaddits al-Ashr, Muĥammad Nâshiruddîn al-Albânî ra­ĥimahullah juga telah menjelaskan kelemahan tambahan riwayat ini secara panjang lebar dalam at-Tawassul Anwâ’uhu wa Aĥkâmuhu.

Baiklah, kalaupun tambahan hadîts di atas adalah shaĥîĥ dan diterima. Namun hal ini juga bukan artinya riwayat di atas dapat diarahkan kepada pengertian tawassul dengan dzât atau jâh Rasūlullâh. Karena sabda Nabî “Apabila kamu memiliki hajat lainnya maka lakukan seperti ini, maksudnya adalah mendatangi Rasūlullâh di kala beliau hidup, meminta agar beliau sudi mendoakan, sholat dua rakaat kemudian berdoa sebagaimana yang diajarkan Rasūlullâh.

Syubhat Ketiga :

Apabila mereka mengatakan : ”Sesungguhnya ’Izzuddîn bin ’Abdis Salâm ketika mengisyaratkan ĥadîts ini, beliau berkata : ”Lâ yajūzu at-Tawassul ilAllahi Ta’âlâ illa bin Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam in sho­­ĥĥal ĥadîts” [Tidak boleh bertawassul kepada Allah kecuali bertawassul dengan Nabî Shallâllâhu ’alaihi wa Sallam saja apabila ĥadîtsnya memang shaĥîĥ], sedangkan telah jelas bahwa ĥadîtsnya shaĥîĥ. Oleh karena itu, boleh bertawassul dengan (dzat) Nabî.

Jawab : Merujuk ke pernyataan al-Imâm ’Izzuddîn bin ’Abdis Salâm di atas, tidak ada dilâlah (penunjukan) yang pasti dari ucapan beliau bahwa yang beliau maksudkan adalah tawassul dengan dzât Nabî, dan tidak pula ada penjelasan pembolehan beliau dilakukan setelah Rasūlullâh wafat, karena isyarat beliau dalam ucapannya adalah ĥadîts ’Utsmân bin Ĥunaif, padahal telah jelas bahwa riwayat tersebut menjelaskan kisah orang buta yang bertawassul dengan doa Nabî di masa beliau hidup.

Al-Imâm asy-Syaukânî di dalam ad-Durorun Nadhîyah fî Khulâshoti Kalimatit Tauĥîd (termaktub dalam al-Majmū’ul Mufîd min ’Aqîdatit Tau­ĥîd, karya Syaikh ’Alî bin Mu­ĥammad bin Sinân, Dârul Kitâb al-Islâmî, Madînah, cet. V, 1412, hal. 14), setelah memaparkan pendapat al-’Izz bin ’Abdis Salâm dan ĥadîts ’Utsmân bin Ĥunaif, beliau berkata :

Manusia di dalam menjelaskan maksud ĥadîts ini ada dua pendapat. Pertama : bahwasanya tawassul itu sebagaimana yang disebutkan oleh ‘Umar bin al-Khaththâb radhiyallâhu ‘anhu ketika beliau berkata : “Ketika di musim kemarau, kami dahulu bertawassul kepada Nabi-Mu kemudian Engkau turunkan hujan kepada kami, adapun sekarang kami bertawassul dengan bapa saudara Nabi kami.” Hadîts ini terdapat dalam Shaĥîĥ a-Bukhârî dan selainnya. Di ĥadîts ini, ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu menceritakan bahwa mereka (para sahabat) bertawassul dengan (doa) Nabî di saat hidup beliau untuk meminta hujan, kemudian mereka bertawassul dengan bapa saudara Nabi setelah Nabî wafat untuk berdoa meminta hujan, kemudian beliau (‘Abbâs) berdoa disertai para sahabat lainnya yang juga turut berdoa bersama beliau, maka beliau menjadi wasilah bagi mereka kepada Allah Ta’âlâ. Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dulunya adalah seperti ini juga, yaitu sebagai pemberi syafaat dan doa.

Pendapat kedua menyatakan bahwa tawassul boleh dilakukan pada saat beliau hidup dan wafat, di saat beliau hadir maupun tidak hadir. Padahal tidaklah tersamar bagi anda bahwasanya telah tetap ijma’ sahabat bahwa tawassul dengan Nabî hanyalah di saat hidup beliau kemudian mereka bertawassul dengan selain beliau setelah beliau wafat, hal ini merupakan ijma’ sukutî, kerana tidak ada sedikitpun pengingkaran sahabat terhadap ‘Umar radhiyallâhu ‘anhu ketika beliau bertawassul dengan ‘Abbâs radhiyallâhu ‘anhu. Menurutku (Imâm Syaukânî), tidak ada sisi pendalilan yang mengkhususkan kebolehan tawassul hanya kepada Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam saja, sebagaimana dikira oleh ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salâm, dengan dua sebab : (pertama) dari ijma’ sahabat yang telah kita ketahui… dst [Perincian lebih jauh silakan baca ad-Durorun Nadhîyah karya Imâm asy-Syaukânî].

Dari ucapan Imâm asy-Syaukânî ini, jelas bahwa yang dimaksud oleh al-‘Izz adalah bertawassul dengan Nabî hanya di saat beliau hidup saja. Dan itupun yang dimaksud adalah dengan doa Nabî, bukanlah dengan dzât atau kehormatan Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam. Allahu a’lâm.

Syubhat Keempat :

Apabila mereka mengatakan : Orang yang mengingkari bolehnya bertawassul dengan kemuliaan dan kehormatan Nabî, berarti telah mengingkari kemuliaan dan kehormatan Nabî Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam, sebagaimana dikatakan oleh DR. Al-Būthî di dalam Fiqhus Sîrah, “sungguh telah sesat orang yang hati mereka tidak merasakan kecintaan terhadap Rasūlullâh Shallâllâhu ‘alaihi wa Sallam dan mengingkari tawassul dengan dzâtnya sepeninggal beliau.

Jawaban : Ini adalah tuduhan kosong lagi dusta, yang dikemukakan tanpa hujjah dan dalîl, hanya diiringi semangat permusuhan dan kedengkian. Hujjah seperti ini terlontar ketika mereka sudah tidak mampu membantah hujjah ahlus sunnah, sehingga tuduhan-tuduhan dusta pun keluar. Mereka mengatakan bahwa kita tidak mencintai Rasūlullâh hanya karena kita menjelaskan bahwa shalawat yang tidak dituntunkan Nabî adalah bid’ah, maulid Nabî adalah bid’ah, dan segala amalan palsu yang disandarkan kepada Nabî namun pada hakikatnya adalah bid’ah kemudian kita dikatakan bid’ah, mereka tidak terima. Dan kerana mereka tidak punya hujjah, maka tuduhan seperti inilah yang keluar.

Adapun kami, alĥamdulillâh, adalah kaum yang paling mencintai Nabî. Kami berupaya menghidupkan sunnah beliau dan menumpas bid’ah dan syirik di dalam agama. Kami senantiasa membela beliau, menghidupkan sunnah beliau, dan berjalan di atas jalan beliau walau terasa berat dan terasingkan. Apabila kami mengatakan bahwa tawassul dengan dzât Nabî adalah bid’ah, maka bukan artinya kami tidak menghormati dan mencintai Nabî. Bahkan kami sangat mencintai dan menghormati beliau.

Kami mengakui keutamaan dan kemuliaan beliau dibandingkan manusia lainnya, bahkan dibandingkan nabi dan rasul lainnya. Kami meyakini beliau memiliki Syafâ’at al-Uzhmâ, beliau adalah Nabî yang paling utama dibandingkan Nabî dan Rasul lainnya. Kami meyakini bahwa beliau pemilik ĥaudh (telaga) yang airnya mengalir jernih, barangsiapa meminumnya niscaya tidak akan merasa haus selamanya. Kami meyakini, siapa saja yang menghujat beliau sedikit saja, maka telah kâfir keluar dari Islâm, termasuk pula siapa saja yang melecehkan sunnah beliau walaupun hanya satu buah sunnah.

Ketidakcintaan kepada Rasūlullâh adalah salah satu bentuk kekufuran. Tuduhan DR. Al-Buthî yang menyatakan bahwa orang yang menolak tawassul dengan dzât atau jâh Rasūlullâh sebagai sesat tidak mencintai Rasūlullâh, merupakan suatu tuduhan besar. Implikasi dari tidak mencintai Rasūlullâh adalah kekafiran. Apakah DR. Al-Buthî bermaksud menvonis kâfir? Apakah DR. Al-Būthî tidak sedar, bahwa tuduhannya juga menimpa kepada para Imâm Ahlus Sunnah, semisal Imâm Muĥammad ‘Alî asy-Syaukânî?!

Kemudian, bagaimana bisa al-Būthî menvonis hati orang lain? Ia mengatakan “sungguh telah sesat orang yang hati mereka tidak merasakan kecintaan…”, bagaimana bisa ia menvonis isi hati orang lain padahal hanya Allah-lah yang bisa mengetahui apa yang ada dan terbetik di dalam hati seorang hamba. Apakah al-Būthî telah mengklaim memiliki perbendaharaan ilmu ghaib?!

Sungguh, apa yang dilontarkan oleh al-Būthî ini, hanyalah tuduhan kosong yang berangkat dari keputusasaannya…

Syubhat Kelima :

Apabila mereka mengatakan : Ya Akhî, ini kan masalah yang mukhtalaf fîhi (diperselisihkan), tidak selayaknya kita saling mengingkari dalam masalah ini. Biarlah yang meyakini tawassul dengan dzât Nabî itu disyariatkan, mereka mengamalkannya, selama mereka berangkat dari hujjah dan dalil mereka, dan tidak sepatutnya anda mempermasalahkannya apalagi mengingkarinya.

Jawab : Jika begitu, tentu kita tidak boleh pula mengingkari mereka yang berdalil dengan firman Allah :

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)” (QS al-Ĥijr : 99)

Untuk menyatakan bahwa seorang muslim yang telah sampai kepada maqâm al-Yaqîn di dalam keimanan, maka tidak wajib lagi beribadah kepada Allah.

Bukankah mereka berdalil dengan al-Qur‘ân? Dan bukankah penafsiran mereka ini sesuai dengan zhâhir? Dan bukankah pula, masalah ini adalah masalah yang mukhtalaf fîhi, yaitu yang diperselisihkan ahlus sunnah dan mereka (baca : ahli tashawwuf ekstrem)?

Namun tentu saja pemahaman mereka ini adalah menyimpang dan sesat, dan wajib diingkari. Kita wajib menegakkan hujjah kepada mereka dan menyampaikan hujjah yang paling haq. Namun, ironinya, ketika mereka sudah tidak punya hujjah lagi akan mengatakan, “ya akhî, ini masalah yang diperselisihkan, selama ada dalilnya anda tidak boleh mengingkarinya…”

Aduhai, akan rosak agama ini dengan hujjah semisal ini. Dan sungguh, hujjah (baca : apologi) seperti ini, hanyalah berangkat dari kejahilan dan keputus asaan akibat tidak adanya dalil yang dapat menyokong pemahaman mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata :

Pendapat mereka bahwa di dalam masalah khilâf tidak ada pengingkaran adalah tidak benar, karena pengingkaran bisa jadi ditujukan kepada ucapan dengan penghukuman ataupun amalan. Adapun yang pertama (yaitu ucapan), apabila ucapan tersebut menyelisihi sunnah ataupun ijma’ terdahulu, maka wajib mengingkarinya secara sepakat.” [Lihat Bayânud Dalîl ‘ala Buthlânit Tahlîl karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 210; melalui perantaraan artikel berjudul Qouluhum inna Masa`ilal Khilaf La Inkara Fiha Laysa Bishahih, www.dorar.net]

Ibnul Qoyyim rahimahullahu berkata :

Ucapan mereka ‘sesungguhnya di dalam permasalahan khilaf tidak ada pengingkaran’ tidaklah benar… bagaimana bisa seorang faqih (ahli fikih) berkata tidak ada pengingkaran di dalam masalah yang mukhtalaf fîhâ (yang diperselisihkan) sedangkan para ahli fikih dari seluruh kalangan telah menunjukkan dengan jelas kritikan terhadap keputusan seorang hakim apabila menyelisihi Kitabullah dan Sunnah, walaupun keputusan tersebut selaras dengan pendapat beberapa ulama?” [ Lihat I’lamul Muwaqqi’in karya Imam Ibnul Qoyyim, Juz III hal. 300]

Daftar Bacaan :

Untuk dalil lebih lengkap dalam masalah ini, silakan baca :

  1. Jâmi’ ar-Rosâ`il (I/7) karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyah.
  2. Ad-Durorun Nadhîd karya al-‘Allâmah Muĥammad ‘Alî asy-Syaukânî [dengan taĥqîq Syaikh ‘Alî bin Sinân dalam al-Majmū’ al-Mufîd min ‘Aqîdatit Tauhîd]
  3. Ar-Roddu ‘alal Quburiyyin karya al-‘Allâmah Ĥammâd bin Nâshir Alu Mu’ammar [dengan taĥqîq Syaikh ‘Abdūs Salâm Barjas]
  4. At-Tawassul Anwâ’uhu wa Aĥkâmuhu karya al-Mu­­ĥadditsul Ashr, Muĥammad Nâshiruddîn al-Albânî
  5. At-Tawassul Aqsâmuhu wa A­ĥkâmuhu karya Syaikh Abū Anas ‘Alî bin Ĥusain Abū Luz
  6. At-Tawassul Ĥaqô`iq wa Syubuhât karya Syaikh Abū Ĥumaid bin ‘Abdillâh al-Fallâsî
  7. Imâthotul Litsâm wa Kabhul Auhâm [Indonesia : Kuburan Agung, Darul Haq] karya Syaikh Mamduh Farĥan al-Buhairî

No comments:

Post a Comment